SAHABAT2 SEPERJUANGAN
Followers
Thursday, January 21, 2010
FITNAH DAN SUARA WANITA
“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) perempuan.”
Apa yang dimaksudkan dengan hadis diatas?Hadis-hadis tersebut kadang-kadang dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga dijadikan alat oleh suatu kaum untuk memburuk burukkan kaum wanita dan islam.
Mungkin yang layak menjawab persoalan macam ni adalah ustaz.Apa kata kita baca ulasan ini dari ustaz yang bertauliah.
JAWAPAN:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai isteri. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memelihara serta melindunginya sebagai anggota masyarakat.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggungjawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan isterinya (lihat kembali surah al-Baqarah [002], ayat 35 - Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.)"
Perlu diketahui bahawa tidak ada satu pun nas Islam, baik Al-Quran mahupun As-Sunnah sahihah, yang mengatakan bahawa wanita (Hawa) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari syurga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama.
Bahkan Al-Quran menegaskan bahawa Adamlah orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surah Thaahaa [020], ayat 115~122, "Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemahuan yang kuat. ......... Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.)"
Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syarak. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai isteri, atau sebagai ibu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu. Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan pendapatnya dengan hadis Nabi SAW yang berbunyi, “Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian langgarlah (selisihlah) .”
Hadis ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau dari segi ilmu (hadis). Yang benar, Nabi SAW pernah bermusyawarah dengan isterinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan rela serta sedar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.
Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahawa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan itu berpangkal dari wanita." Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nas.
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Quran selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahawa suara wanita itu aurat, kerananya tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat. Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahawa Al-Quran memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggungjawab yang lebih berat daripada isteri-isteri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman, “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir ...” (Surah al-Ahzab [033], ayat 53)
Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu memerlukan jawapan dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: isteri-isteri Nabi). Mereka biasa memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadis-hadis bagi orang yang ingin mengambil hadis mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW di hadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya.
Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, “Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar.”
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, puteri seorang syeikh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Quran, “...Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami ...” (Surah al-Qashash [028], ayat 25)
Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada mereka:
“... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala- penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” (Surah al-Qashash [028], ayat 23)
Selanjutnya, Al-Quran juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s. dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Quran diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk /lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Surah al-Ahzab [033], ayat 32)
Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya ‘berpenyakit’. Namun, dengan ini bukan bererti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki. Perhatikan hujung ayat dari surah di atas, “…dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadis dengan salah. Hadis-hadis yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahawa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Mereka telah salah faham. Kata fitnah dalam hadis di atas mereka ertikan dengan “wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan.” Mereka melupakan suatu masalah yang penting, iaitu bahawa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah.
Allah berfirman, “... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ....” (Surah al-Anbiyaa [021], ayat 35)
Al-Quran juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya - sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)...” (Surah at-Taghaabun [064], ayat 15)
“Dan ketahuilah bahawa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan ...” (Surah al-Anfaal [008], ayat 28)
Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Surah al-Munaafiquun [064], ayat 9)
Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah oleh wanita, terfitnah oleh isteri-isteri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan- kepentingan khusus (peribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari kepentingan- kepentingan umum.
Mengenai hal ini Al-Quran memperingatkan, “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ...” (Surah at-Taghaabuun [064], ayat 14)
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rosak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita di sini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlumba-lumba memperebutkannya, lantas kamu binasa kerananya sebagaimana mereka dahulu binasa kerananya.” (Muttafaq alaih dari hadis Amr bin Auf al-Anshari)
Dari hadis ini tidak bererti bahawa Rasulullah SAW hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi baginda justeru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga tidak bererti bahawa baginda tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, kerana baginda sendiri pernah bersabda, “Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik.” (Hadis riwayat Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadis di atas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu merah bagi peribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa mereka sedari.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment